PANGKEP, KOMPAS - Hampir separuh dari 1.300 petambak udang windu di Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, beralih mengelola tambak bandeng. Minimnya pendampingan dari penyuluh perikanan membuat petambak meninggalkan sistem polikultur dalam budidaya udang windu.
Di samping itu, risiko budidaya ikan bandeng hampir tidak ada, serta lebih mudah terserap pasar rumah tangga.
Saharuddin (39), petambak di Labakkang (60 kilometer utara Makassar), Rabu (23/2), mengatakan, tahun ini ia tak lagi membudidayakan udang setelah gagal panen pada tahun lalu. Dari 12.000 benih udang windu yang ditebar di tambak seluas 1 hektar, hanya 10 persen yang bisa dipanen atau setara 40 kilogram (kg).
Dengan harga jual udang windu Rp 40.000 per kg, Saharuddin hanya mendapat Rp 1,6 juta. Padahal, biaya operasional dari tahap persiapan tambak, masa tebar benih, hingga pemberian pakan selama 5 bulan menghabiskan modal Rp 3 juta.
”Saya sempat mencoba pola budidaya polikultur dengan mencampur udang windu dan bandeng dalam satu kolam. Namun, produksi tetap saja rendah karena virus bintik putih masih merebak,” tuturnya.
Minimnya pendampingan dari penyuluh terhadap mekanisme polikultur juga dikeluhkan Abdullah (34), petambak di Desa Kanaongan. Petambak tradisional kurang memahami persyaratan sistem polikultur, seperti penyesuaian jumlah benih yang ditebar dengan luas lahan, takaran pupuk organik, serta suhu dan kelembaban tambak.
Makmur (28), penyuluh yang bertugas di Pangkep, membenarkan minimnya tenaga penyuluh sebagai kendala utama. Pendampingan intensif sangat dibutuhkan untuk menuju kondisi tambak yang sehat.
Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan Sulkaf Latief menuturkan, kekurangan tenaga penyuluh coba diatasi dengan memberdayakan tenaga teknis yang ada di kabupaten/kota. Jumlah penyuluh di tiap kabupaten/kota tidak sebanding dengan 36.000 petambak dengan luas tambak 100.000 hektar di Sulawesi Selatan. (RIZ)
0 komentar:
Posting Komentar