Hal ini berdampak pada krisis perikanan yang kian menampakkan wujudnya. “Krisis perikanan ini bermula dari menurunnya tangkapan ikan, meningkatnya konflik perikanan, meningkatnya impor perikanan, hingga tutupnya sejumlah industri perikanan akibat tiadanya bahan baku di sejumlah daerah. Belum lagi pencurian ikan secara ilegal yang kian aktif dan masif menjalankan operasinya di wilayah perairan Indonesia,” jelas Muhammad Karim, Direktur Eksekutif COMMIT.
Lebih parah lagi, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini tak memiliki keberpihakan dan perlindungan terhadap nelayan tradisional. Malahan UU ini kian memiskinkan nelayan tradisional. “Dilegalkannya trawl di Kalimantan Timur dengan dalih menyejahterakan nelayan tradisional adalah kebijakan yang kontraproduktif,” tambah Dedy Ramanta, Sekretaris Nasional KNTI.
Lebih parah lagi, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini tak memiliki keberpihakan dan perlindungan terhadap nelayan tradisional. Malahan UU ini kian memiskinkan nelayan tradisional. “Dilegalkannya trawl di Kalimantan Timur dengan dalih menyejahterakan nelayan tradisional adalah kebijakan yang kontraproduktif,” tambah Dedy Ramanta, Sekretaris Nasional KNTI.
Bertolak dari pelbagai persoalan di atas, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (COMMIT) mendesak DPR RI untuk mengarus-utamakan beberapa hal di bawah ini dalam proses peninjauan kembali UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yakni:
Pertama, mengubah paradigma UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang terlampau pro-industrialisasi perikanan dan sumber daya kelautan, karena telah terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan perikanan secara utuh. Paradigma baru yang mesti diusung adalah dengan menempatkan kegiatan perikanan sebagai sumber pangan, pemenuhan ekonomi kerakyatan sekaligus sebagai identitas bangsa.
Kedua, menekankan pentingnya negara memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap perairan tangkap tradisional. Hal ini penting agar daerah operasi penangkapan tidak diserbu kegiatan perikanan modern, baik yang legal maupun ilegal, domestik maupun asing. Hal terpenting lainnya adalah agar laut tak lagi dimaknai sebagai “tong sampah raksasa” limbah-limbah industri.
Ketiga, mengantisipasi dampak perubahan iklim yang kian nyata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bentuk antisipasi negara dapat dilakukan dengan memberikan jaminan atas asuransi keselamatan jiwa dan akses informasi menyangkut ketepatan waktu melaut dan perlindungan wilayah tangkap tradisional. Inilah hak terdasar warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan tradisional.
Keempat, perlunya melakukan jeda (moratorium) perikanan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang sudah mengalami penangkapan ikan berlebih (overfishing), misalnya Laut Arafura. Apalagi sejak tahun 1950-2006, perairan ZEE Samudera Pasifik telah berkontribusi dalam penangkapan ikan di Indonesia ketimbang Samudera Hindia (Suhana 2009). Hal ini cukup mengkhawatirkan jika tidak dibarengi dengan pengelolaan yang serius.
Kelima, penegasan atas definisi jenis alat tangkap yang dilarang, khususnya trawl, sehingga memberi panduan bagi penegak hukum untuk melakukan penangkapan dan penghukuman. Selain modifikasi dan nomenklatur yang berbeda-beda, misalnya ada penyebutan jaring arad, trawl telah merenggut nyawa nelayan tradisional di Pantai Timur Sumatera, perairan Kalimantan Barat, dan pesisir Kalimantan Timur, ketidakmampuan nelayan tradisional menghadapi serbuan pemakai trawl. Inilah urgensi penegasan atas definisi alat tangkap yang dilarang.
Keenam, pentingnya memasukkan klausul mengenai pengaturan Stock Assesment sumber daya perikanan tangkap atau budidaya di laut maupun perairan umum. Sebab, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan terkesan berpusat pada perikanan laut dan kurang mengakomodasi perikanan budidaya perairan umum. Jika pencemaran terjadi di perairan danau, sungai, rawa, dan lebak-lebung, terdapat kesulitan dalam melakukan penyidikan dan proses pengadilan. Mengapa demikian? Karena UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan hanya mengadili kejahatan perikanan laut. Padahal, persoalan ini sudah terjadi di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, dan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur (AD).
Sumber: kiara
suluhnusantara
0 komentar:
Posting Komentar